Shalat Tarek Dan Daim Syekh Siti Jenar

Kitab Syekh Siti Jenar
Shalat (Tarek dan Daim) Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah, diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual. Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek. Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran ); pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.

Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar, shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.

Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab 221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman. Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget). Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh, pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri. Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub (penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan, maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini, sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.

Shalat Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir [rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

Shalat Luhur
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Pangeranku.” (Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku). Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing osikku.” (Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-angenku.”
(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.” (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

Shalat Maghrib
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas, shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur gumulung, gumulung agawe jagat,” (Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta). Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku), Seratus kali.

Shalat Al Qomar
“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal (bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat :
a. Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b. Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma).
c. Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d. Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e. Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f. Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g. Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h. Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
I. Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j. Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup yang tak pernah terkena mati).
k. Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam (selain bahasa Arab).
TIGA PULUH TUJUH
“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.

Shalat Khusyu'
“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa spiritualitas di bawah.

Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut :
1. menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan,
2. menunaikan zakat dan sejenisnya,
3. menjaga kehormatan diri dari tindakan nista,
4. menepati janji dan amanat serta sumpah,
5. menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.

Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya para maling. Hanya ditekankan wajibnya tanpa menyadari bagaimana tertanamnya shalat itu kedalam jiwa raga orang-orang yang diajarkannya, dan ini ternyata ada benarnya, orang mengaku tau agama namun kelakuannya jauh lebih biadab daripada orang yang tidak tau agama.

Artikel Syekh Siti Jenar